Hukum-Hukum Haid
Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:
a. Shalat dan Puasa .
Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah r mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda:
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa? Maka itulah yang dikatakan setengah agamanya.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79).
Adapun puasa wajib (Ramadhan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan hadits ‘Aisyah x, ketika ada
yang bertanya kepadanya:
“Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?”Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi r. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.”
(HR. Al-Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”
(Shahih, HR. Muslim no. 69).
b. Thawaf di Baitullah.
Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka‘bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah r bersabda kepada Aisyah x yang mengalami haid saat tengah melakukan amalan haji: “Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau
suci.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih- nya juz 4, hal. 30, Syarah An-Nawawi).
Adapun amalan haji yang lain seperti sa‘i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.
c. Jima’ (bersetubuh).
Diharamkan bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah I berfirman, yang artinya: “…maka jauhilah (tidak boleh jima’) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima’) hingga mereka suci.”
(Al-Baqarah: 222).
Selain jima’, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid karena Rasulullah Sollollohu 'Alaihi Wasallam r bersabda:
“Berbuatlah apa saja kecuali nikah (yakni jima’).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam kitab beliau Shahih Sunan Abi Dawud no. hadits 1897).
d. Talak
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah I: “Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. (Ath- Thalaq: 1)
Ibnu Abbas c menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid
berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya.”
(Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 4/485).
Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi
ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ‘Atha`, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan.
(Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Azhim 4/485).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyebutkan:
“Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid) yakni :
Pertama : apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada ‘iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua : apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil, karena lamanya ‘iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya.
Allah I berfirman:
“Wanita- wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya."
(Ath-Thalaq: 4).
Ketiga : apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu’.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbas c dalam Shahih Al-Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276) Disebutkan bahwasanya :
" istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi r lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi r menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya." Dalam hadits ini Nabi r sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.
e. Masa ‘iddah.
Wanita yang bercerai dari suaminya Perhitungan masa ‘iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah I: “Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka(menunggu) selama tiga quru…”
(Al-Baqarah: 228).
f. Mandi Haid
Rasulullah r bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy x:
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu, mandi dan shalatlah.”(Shahih, HR. Al-Bukhari no.325).
Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama adalah melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi r ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau bersabda, sebagaimana dikabarkan ‘Aisyah:
“Ambillah secarik kain yang diberi misik(wewangian) lalu bersucilah dengannya.” Wanita itu bertanya:“Bagaimana cara aku bersuci dengannya?” Nabi menjawab:“Bersucilah dengannya.” Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah.”‘Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut.”
(Shahih, HR. Al- Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60).
Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma‘ bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau r bersabda: “Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”
(Shahih, HR. Muslim no. 61).
Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak memiliki air, atau ada air namun mengkhawatirkan bahaya yang mungkin timbul bila menggunakannya, atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami haturkan untukmu Muslimah…!
Dikutip dari : Majalah Asysyaria'h.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum.
Untuk memperbaharui blog ini komentar anda sangat saya harapkan.
- Komentar anda sangat berarti buatku.
- Komentar anda sangat berharga bagiku.
- Komentar anda adalah kebangga'anku.
Berilah komentar yang dapat membuat saya merasa nyaman dan bergairah untuk terus memperbaharui situs ini.
komentar anda sangat membantu saya untuk terus berkarya. (~_~)
Terimakasi karena sudah berkunjung!
Jazakumulloh khoiron katsir.