Darah Wanita.
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa
Husein Al-Atsariyyah).
Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mengalaminya.
Saudariku muslimah....Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Perlu diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah I. Kita lihat kenyataan yang ada, banyak wanita yang buta akan permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini.
Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba menerangkan kepada pembaca seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin…! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami: “Pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat…!(Asy-Syu’ara: 88-89).
Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang disusun oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berjudul Risalah fid Dima` Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa disertai dengan tambahan dari sumber yang lain.
Saudariku Muslimah…
Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Ilahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi mencegahnya dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.
Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk mengawalinya, akan disinggung masalah haid. Haid Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar‘i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita. Ulama berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Ad-Darimi t berkata setelah menyebutkan perselisihan yang ada:
“Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja, bila didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a’lam.”
Pendapat Ad-Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah I dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah I dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur. Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat.
Ibnul Mundzir t berkata: “Sekelompok ulama berkata: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid.” Pendapat ini yang dibenarkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai
berikut:
Pertama : Allah I berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci dari haid.” (Al- Baqarah: 222).
Dalam ayat di atas, Allah I menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama waktunya.
Kedua : Nabi r bersabda kepada Aisyah x yang haid saat ia tengah melakukan ibadah haji: “Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”
(Shahih, HR. Muslim dalam Shahih- nya juz 4, hal. 30, Syarah An-Nawawi). Nabi r menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada atau tidaknya darah.
Ketiga : batasan-batasan yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al-Qur`an dan juga dalam Sunnah Rasulullah r. Padahal hal ini sangat perlu diterangkan bila memang ada pembatasan.
Keempat : banyaknya perbedaan dan perselisihan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari atau dua hari dalam sebulan maka darah itu adalah darah istihadhah.
Ibnu Taimiyyah t menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai adanya bukti yang jelas bahwa darah itu adalah istihadhah.” Haid pada Wanita Hamil Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Kejadian Haid Ada beberapa macam kejadian :
Pertama : bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari haidnya berhenti.
Kedua : terlambat atau maju dari jadual yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya. Terhadap dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja baik waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja baik waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy- Syafi‘i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Ketiga : warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa haid cairan tersebut bukan darah haid. Ummu ‘Athiyyah x mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid.” (HR. Abu Dawud. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya namun tanpa lafadz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid.)
Keempat : keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah(ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.
Hukum-Hukum Haid
baca Selengkapnya>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum.
Untuk memperbaharui blog ini komentar anda sangat saya harapkan.
- Komentar anda sangat berarti buatku.
- Komentar anda sangat berharga bagiku.
- Komentar anda adalah kebangga'anku.
Berilah komentar yang dapat membuat saya merasa nyaman dan bergairah untuk terus memperbaharui situs ini.
komentar anda sangat membantu saya untuk terus berkarya. (~_~)
Terimakasi karena sudah berkunjung!
Jazakumulloh khoiron katsir.