Antara Haid, Haji Dan Umroh bagian 2
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Thawaf dalam Keadaan Darurat
Kita ketahui dari penjelasan yang telah
dibawakan dalam edisi yang lalu bahwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t
berpendapat larangan thawaf bagi wanita
haid adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat, sedangkan bila
darurat, lain lagi pembicaraannya.
Kita lihat jawaban beliau ketika ditanyakan
permasalahan berikut,
“Seorang wanita
yang haid belum melakukan thawaf
ifadhah. Ia belum juga suci sampai orang yang berhaji pulang meninggalkan Makkah.
Tidak mungkin pula dia tetap tinggal di
Makkah menanti sampai ia suci setelah
jamaah haji pulang. Apakah dalam keadaan
demikian dia boleh melakukan thawaf?
Apakah keadaan seperti itu teranggap darurat ataukah tidak? Bila ternyata ia
boleh melakukan thawaf, apakah dia wajib
membayar dam ataukah tidak? Apakah
disunnahkan mandi sebelum thawaf?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjawab,
“Alhamdulillah. Ulama memiliki dua pendapat yang masyhur tentang thaharah
saat thawaf, apakah sebagai syarat sahnya thawaf atau tidak.
1. Thaharah adalah syarat
Ini adalah mazhab Malik, Asy-Syafi’i, dan
Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat yang ada.
2. Thaharah bukan syarat
Demikian mazhab Abu Hanifah dan Ahmad
dalam riwayat yang lain. Oleh karena itu,
menurut mereka, andai seseorang yang
junub, berhadats, atau membawa najis, melakukan thawaf maka thawaf tersebut
sah, namun ia wajib membayar dam.1 Akan
tetapi, pengikut mazhab Al-Imam Ahmad t
berbeda pendapat, apakah dam ini
dibebankan secara mutlak—walau
terhadap orang yang diberi uzur yang lupa bahwa ia sedang janabah—ataukah tidak?
Abu Hanifah menjadikan dam berupa badanah (unta).
Seorang wanita haid—yang tidak mungkin
melakukan thawaf melainkan dalam
keadaan haid—tentu lebih pantas lagi mendapatkan uzur, karena haji merupakan
amalan yang wajib baginya. Tidak ada
seorang ulama pun yang mengatakan,
“Kewajiban haji gugur dari wanita haid.”
Menggugurkan suatu kewajiban/fardhu
dengan alasan kelemahan/ketidakmampuan mengerjakan sebagian hal yang wajib
dalam kewajiban/fardhu tersebut,
bukanlah termasuk ucapan syariat.
Sebagaimana halnya bila dia tidak mampu
bersuci untuk shalat2.
Jika si wanita mungkin untuk tinggal di Makkah sampai suci dan menunaikan thawaf yang tertunda, tidak diragukan lagi
dia wajib melakukannya. Namun, bila hal itu
tidak mungkin, dengan menyuruhnya
pulang ke negerinya bersama rombongan3
—lalu kembali ke Makkah setelah suci untuk thawaf ifadhah—berarti
mewajibkan safar dua kali baginya untuk
pelaksanaan ibadah haji tanpa ada
kesalahan yang diperbuatnya. Ini tentu
saja menyelisihi syariat.
Di samping itu, dia
tidak mungkin pergi melainkan bersama rombongan, sementara haidnya dalam
bulan itu seperti biasanya, sehingga hal ini
tidak memungkinkannya thawaf dalam
keadaan suci sama sekali.
Pokok-pokok syariat dibangun di atas
ketetapan bahwa syarat-syarat ibadah yang tidak mampu dilakukan seorang
hamba, maka syarat-syarat itu digugurkan.
Misalnya bila orang yang shalat tidak
mampu menutup auratnya, atau tidak bisa
menghadap kiblat, atau menghindari/
menjauhi sesuatu yang najis4, atau orang yang thawaf, bila ia tidak mampu thawaf
sendiri, baik naik kendaraan atau berjalan
kaki, ia dipikul dan dithawafkan.
Pendapat bahwa orang yang thawaf tanpa
bersuci tetap sah walaupun tidak ada
udzur (alasan/sebab yang diterima), namun harus membayar dam—sebagaimana
dinyatakan oleh pengikut Abu Hanifah dan
Ahmad—tentu lebih utama dan lebih
pantas ditujukan kepada orang yang
memiliki udzur.
Adapun tentang mandi, jika si wanita melakukannya, itu bagus sebagaimana
wanita haid dan nifas mandi untuk
berihram. Wallahu a’lam.” (Majmu’
Fatawa, 26/243—244)
Tentang pewajiban membayar dam,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan,
“Jika ia membayar dam, itu lebih berhati-hati.
Jika tidak membayar pun
sebenarnya tidak ada kewajiban apa-apa
baginya, karena Allah l tidak membebani
suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.
Allah l berfirman: “Bertakwalah kalian kepada Allah
semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)
Nabi n bersabda:
ٍﺮْﻣَﺄِﺑ ْﻢُﻜُﺗْﺮَﻣَﺃ ﺍَﺫِﺇ
ﺎَﻣ ُﻪْﻨِﻣ ﺍْﻮُﺗْﺄَﻓ
ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ “Jika aku memerintahkan kalian dengan
satu perkara maka kerjakanlah semampu
kalian.” (HR. ِAl-Bukhari dan Muslim)
Adapun wanita haid ini tidak mampu
kecuali demikian (thawaf dalam keadaan
tidak suci)….” Ibnu Taimiyah t juga menyatakan, “
Nabi n menggugurkan kewajiban thawaf wada’
bagi wanita haid. Beliau menggugurkan
pula bagi orang-orang yang mengurusi
siqayah (penyediaan air minum bagi
jamaah haji) untuk bermalam di Mina karena adanya kebutuhan.
Akan tetapi, beliau n
tidak mewajibkan mereka membayar dam,
karena mereka diberi uzur dalam hal
tersebut. Beda halnya dengan orang yang
tidak memiliki uzur. Demikian pula orang
yang tidak mampu melempar jumrah sendiri karena sakit atau semisalnya, ia boleh mewakilkan kepada orang lain
melakukannya untuk dirinya. Tidak ada
pewajiban apa-apa baginya, karena
tidaklah sama orang yang meninggalkan
kewajiban karena ketidakmampuan dengan orang yang meninggalkannya bukan
karena tidak mampu.
Wallahu A’lam.” (Majmu’ Fatawa, 26/245)
Sa’i antara Shafa dan Marwah bagi wanita haid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum.
Untuk memperbaharui blog ini komentar anda sangat saya harapkan.
- Komentar anda sangat berarti buatku.
- Komentar anda sangat berharga bagiku.
- Komentar anda adalah kebangga'anku.
Berilah komentar yang dapat membuat saya merasa nyaman dan bergairah untuk terus memperbaharui situs ini.
komentar anda sangat membantu saya untuk terus berkarya. (~_~)
Terimakasi karena sudah berkunjung!
Jazakumulloh khoiron katsir.