ARTIKEL YANG LAIN

12.31.2011

Fatwa Ulama Seputar Asyura'

Fatwa-fatwa Penting Seputar
‘Asyura`.

Hukum Bersandar Pada
Kalender dalam Penentuan
Shiyâm (Puasa) Hari
‘Asyûra (10 Muharram).

Pertanyaan : Saya seorang pemuda yang
telah diberi hidayah oleh Allah dengan
cahaya Al-Haq. Saya ingin melaksanakan
Shiyâm ‘âsyûrâ` dan semua shiyâm pada
hari-hari yang utama di luar Ramadhân.
Apakah boleh terkait dengan shiyâm
‘âsyûra` saya bersandar pada kalender dalam penentuan masuknya bulan
Muharram, ataukah berhati-hati dengan
cara bershaum sehari sebelum dan sesudah
itu lebih utama? Jazâkumullâh Khairan.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah menjawab : Tetap wajib atasmu untuk bersandar
kepada ru’yatul hilâl. Namun ketika tidak
ada ketetapan ru`yah maka engkau
menempuh cara ihtiyâth, yaitu dengan
menyempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi
30 hari. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. [diterbitkan di majalah Ad-Da’wah edisi
1687 tanggal 29 / 12 / 1419 H. lihat
Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât
Mutanawwi’ah XV/402, fatwa no. 157 ]

Hukum Memperhatikan Hilâl Tanda
Masuknya Bulan Muharram .

Pertanyaan : Banyak dari kaum muslimin
yang bershaum (berpuasa) pada hari
‘âsyûrâ` dan benar-benar mementingkannya karena mereka mendengar dari para da’i tentang dalil-
dalil yang memberikan motivasi dan dorongan untuk mengamalkannya. Maka kenapa umat tidak diarahkan untuk benar0benar memperhatikan hilâl Muharram,
sehingga kaum muslimin mengetahui
(masuknya bulan Muharram) setelah
disiarkan atau disebarkan melalui berbagai media massa?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah menjawab : Shiyâm para hari
‘Âsyûrâ` merupakan badah sunnah yang disukai bershaum
padanya. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam
bershaum pada hari tersebut demikian juga
para shahabat juga bershaum pada hari
tersebut, dan sebelumnya Nabi Musa
‘alaihissalam juga bershaum pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah, karena hari tersebut (10 Muharram) merupakan hari yang Allah menyelamatkan
Nabi Musa u dan kaumnya, serta Allah
binasakan Fir’aun dan kaumnya. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil
bershaum pada hari tersebut sebagai
bentuk syukur kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa
sallam bershaum juga pada hari itu dalam
rangka bersyukur kepada Allah dan mencontoh Nabiyullâh Musa. Dulu kaum jahiliyyah juga biasa bershaum pada hari
itu. Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam
menekankan shaum tersebut kepada umat
ini.

Kemudian ketika Allah menurunkan
kewajiban shaum Ramadhan, maka beliau
bersabda : “Barangsiapa yang mau
silakan bershaum pada hari itu, barangsiapa yang mau boleh
meninggalkannya.” [HR. Al-Bukhâri 5402,
Muslim 1125]

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam
memberitakan bahwa shaum tersebut
menghapuskan dosa-dosa setahun
sebelumnya. Yang utama adalah dengan
diiringi bershaum sehari sebelum atau
sesudahnya, dalam rangka menyelisihi kaum Yahudi, karena Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Bershaumlah sehari sebelumnya atau
sehari setelahnya.” [HR. Ahmad] dalam
riwayat lain dengan lafazh :

“Bershaumlah kalian sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Jadi kalau diiringi dengan bershaum sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya, atau
bershaum pada hari sebelumnya dan sehari
setelahnya, yakini bershaum tiga hari
sekaligus (9, 10, 11 Muharram) maka itu
semua adalah bagus, dan padanya terdapat penyelisihan terhadap musuh-musuh Allah.
Adapun berupaya mencari kepastian malam ‘âsyûrâ`, maka itu merupakan perkara
yang tidak harus. Karena shaum tersebut
adalah nâfilah bukan kewajiban. Maka tidak
harus mengajak untuk memperhatikan hilâl
(Muharram). Karena seorang mukmin kalau dia keliru, sehingga ternyata dia bershaum
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya
maka itu tidak memadharatkannya. Dia
tetap mendapat pahala yang besar.
Oleh karena itu tidak wajib untuk memperhatikan masuknya bulan (Muharram) dalam rangka itu (shaum), karena shaum tersebut hanya nâfilah saja.
[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/401 - 402, fatwa no.
156 ]

Apakah Harus mengqadha` Shaum
‘Asyura yang Terlewatkan?

Pertanyaan : “Barangsiapa yang tiba hari
‘Asyura dalam keadaan haidh, apakah dia
harus mengqadha’nya? Apakah ada
qaidah yang menjelaskan mana dari puasa
nafilah yang harus diqadha` dan mana
yang tidak? Jazakallah Khairan.

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah
menjawab :

Ibadah Nafilah ada dua jenis : Jenis yang
ada sebabnya, dan jenis yang tidak ada
sebabnya. Nafilah yang ada sebabnya,
maka dia tidak ada jika sebabnya tidak ada,
dan tidak perlu diqadha`. Contohnya shalat
tahiyyatul masjid.

Jika seseorang datang ke masjid langsung duduk dan duduknya tersebut sudah berlangsung lama,
kemudian ia hendak melakukan shalat
tahiyyatul masjid. Maka shalat yang ia
lakukan bukanlah shalat tahiyyatul masjid.
Karena shalat tersebut memiliki sebab, terkait dengan sebab. Jika sebabnya hilang,
maka hilang pula pensyari’atannya.

Termasuk dalam jenis ini pula -yang
tampak- adalah shaum hari ‘Arafah dan
shaum hari ‘Asyura. Apabila seseorang
tertinggal dari shaum ‘Arafah dan shaum
‘Asyura` tanpa ada udzur, maka tidak
diragukan lagi ia tidak perlu mengqadha`, dan tidak ada manfaatnya kalau pun dia mengqadha`. Adapun jika terlewat pada seseorang (puasa tersebut) dalam kondisi
dia ada ‘udzur, seperti perempuan haidh,
nifas, atau orang sakit, maka dia juga tidak
perlu mengqadha`. Karena itu khusus pada hari tertentu, hukumnya hilang dengan
berlalunya hari tersebut. [Liqa’atil Babil Maftuh]

Hukum Melakukan Shaum Nafilah Bagi
Orang yang Masih Punya Hutang Shaum.

Ramadhan Pertanyaan : Apa hukum melaksanakan
shaum sunnah, -seperti shaum 6 hari bulan
Syawwal, shaum 10 pertama bulan
Dzulhijjah, dan shaum ‘Asyura-, bagi
seorang yang memiliki hutang Ramadhan
yang belum ia bayar?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah menjawab :

Yang wajib bagi seorang yang memiliki
hutang qadha` Ramadhan untuk
mendahulukan qadha` sebelum ia
melakukan shaum Nafilah. Karena ibadah
wajib lebih penting daripada ibadah nafilah,
menurut pendapat yang paling benar di antara berbagai pendapat para ‘ulama. [Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât
Mutanawwi’ah XV/394-395, fatwa no.
152 ]

Hukum Bergembira atau Bersedih Pada Hari
‘Asyura Apakah boleh menampakkan kegembiraan,
atau sebaliknya menampakkan kesedihan
pada hari ‘Asyura?

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah
menjawab : “Adapun hari ‘Asyura`, sesungguhnya
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ditanya
tentang shaum pada hari itu, maka beliau
menjawab :

“Menghapuskan dosa setahun
yang telah lewat.” Yakni tahun
sebelumnya. Tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan
(’Id). Sebagaimana pada hari tersebut
tidak ada sedikitpun syi’ar-syi’ar hari
perayaan (’Id), maka juga tidak ada pada
hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar
kesedihan. Maka menampakkan kesedihan atau kegembiraan, keduanya sama-sama
menyelisihi sunnah. Tidak ada riwayat dari
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tentang
hari ‘Asyura tersebut kecuali melakukan
shaum, di samping juga beliau
shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bershaum juga sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya
agar kita berbeda dengan Yahudi yang
mereka biasa bershaum pada hari itu
saja.” [Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin II/231]

(Sumber http://www.assalafy.org/ mahad/?p=295)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum.
Untuk memperbaharui blog ini komentar anda sangat saya harapkan.
- Komentar anda sangat berarti buatku.
- Komentar anda sangat berharga bagiku.
- Komentar anda adalah kebangga'anku.

Berilah komentar yang dapat membuat saya merasa nyaman dan bergairah untuk terus memperbaharui situs ini.

komentar anda sangat membantu saya untuk terus berkarya. (~_~)

Terimakasi karena sudah berkunjung!

Jazakumulloh khoiron katsir.