Darah Istihadhah bagian 2.
Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaaan haidh dan tidak pula dapat membedakan darah.Sementara, darah keluar terus menerus dari farjinya dan sifat darah itu sama (tidak berubah) atau tidak jelas.
Maka cara membedakannya denganmelihat kebiasaan umumnya wanita, yaitu menganggap dirinya haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Adapun selebihnya berarti istihadhah.
Misalnya: seorang wanita melihat pertama kali keluar darah dari kemaluannya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah darah haidh atau bukan. Maka dia menganggap dirinya haidh selama 6 atau 7 hari dimulai hari Kamis.
Hal ini berdasarkan sabda Rasululah r kepada Hamnah: “Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari setan, maka anggaplah dirimu haidh selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandilah, maka apabila engkau telah suci shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah.
Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al-Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al-Imam Al-Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata bahwa hadits ini menunjukkan, untuk menentukan haidh dengan yang selainnya, dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita (Subulus Salam, 1/159)
Beliau t juga menyatakan:
“Ucapan Nabi Sollollohu 'Alaihi Wasallam dalam hadits di atas: “Anggaplah dirimu haidh selama 6 atau 7 hari” bukanlah keraguan dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi r mengatakan 6 atau 7 hari – pent.) dan bukan pula disuruh memilih antara 6 atau 7 hari. Nabi r mengatakan demikian untuk mengajarkan bahwasanya kaum wanita memiliki dua adat, di antara mereka ada yang haidh selama 6 hari dan ada yang 7 hari.
Maka seorang wanita mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sebaya, dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam, 1/160) Dan tentunya lebih pantas bagi wanita ini untuk melihat kerabatnya yang paling dekat seperti ibunya, saudara perempuannya, dan semisal mereka. Bukan kembalinya kepada kebiasaan umumnya wanita yang haidh, karena persamaan seorang wanita dengan kerabatnya lebih dekat daripada persamaannya dengan keumuman wanita.
Demikian dikatakan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/434).
Wallohu Ta 'Ala A'lam
Sumber : Majalah AsySyari'ah.com
Demikian sedikit penyampaian dari kami semoga bermanfa'at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum.
Untuk memperbaharui blog ini komentar anda sangat saya harapkan.
- Komentar anda sangat berarti buatku.
- Komentar anda sangat berharga bagiku.
- Komentar anda adalah kebangga'anku.
Berilah komentar yang dapat membuat saya merasa nyaman dan bergairah untuk terus memperbaharui situs ini.
komentar anda sangat membantu saya untuk terus berkarya. (~_~)
Terimakasi karena sudah berkunjung!
Jazakumulloh khoiron katsir.